Mustalah hadith ialah satu ilmu untuk
mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hadith. Orang yang mula
menyusunnya ialah Qadi Abu Mahmud al Ramahramzi dalam tahun 360 Hijrah.
Di antara istilah-istilah yang
digunakan itu ialah:
1. Sanad:
iaitu jalan yang menyampaikan kepada hadith.
2. Isnad:
iaitu menyebutkan hadith itu kepada orang yang mengatakannya.
Sanad dan isnad hampir sama ertinya;
keduanya adalah penting untuk
menentukan nilaian hadith. 'Abdullah
bin Mubarak berkata:
"Isnad adalah dari urusan agama,
dan kalaulah tidak kerana isnad,
nescaya berkatalah orang yang mau apa
yang ia mau berkata."
3. Musannid: iaitu orang yang
meriwayatkan hadith dengan isnadnya.
4 Musnad:
iaitu kitab yang dikumpulkan hadith di dalamnya,
yang diriwayatkan dari seorang
sahabat atau lebih.
5. Matan: iaitu hadith nabi (s.a.w)
yang di akhir sanad.
6. Riwayat: iaitu memindahkan hadith
dari seorang kepada seorang yang
lain, dan orang yang memindahkan
disebut rawi.
7. Istikhraj dan Ikhraj: iaitu
mengambil sesuatu hadith dari sesuatu
kitab, dan mencari sanad yang lain
dari sanad penyusun kitab itu, atau
menerangkan bahawa hadith itu
dipindahkan oleh penyusun dari kitab yang
lain; umpamanya dikatakan: Akhrajah
Al-Bukhari, ertinya: mengeluarkan
hadith itu oleh Imam Bukhari;
maksudnya ada disebut di dalam Bukhari dan
ia memindahkannya ke dalam kitabnya.
8. Muhaddis:
iaitu orang yang banyak menghafaz hadith serta mengetahui
sifat-sifat orang yang meriwayatkan
tentang 'adil dan kecacatannya.
9. Hafiz:
iaitu orang yang menghafaz sebanyak 100,000 hadith dengan
isnadnya.
10. Hujjah: iaitu orang yang
menghafaz sebanyak 300,000 hadith dengan
isnadnya.
11. Hakim: iaitu orang yang meliputi
'ilmunya dengan urusannya hadith
Perbezaan
antara hadith dengan hadith Qudsi
Ulama hadith mengatakan bahawa hadith
Quds ialah perkataan nabi saw yang
disebut dengan mengatakan Allah bertitah, disandarkan perkataan
itukepada Allah dan diriwayatkan daripadanya.
Kesimpulannya Hadith Qudsi ialah titah
Allah yang disampaikan kepada nabi saw
di dalam mimpi atau dengan jalan ilham, lalu nabi menerangkan apa yang
disampaikan itu kepada umatnya dengan ibarat atau susunan perkataannya sendiri
serta menyandarkan kepada Allah.
Hadith Qudsi juga dinamakan juga Hadith Ilahi atau Hadith Rabbani.
Hadith Nabawi
Hadis
Nabawi Hadits dalam arti bahasa lawan dari kata qadim . Dan yg dimaksud hadis
ialah tiap kata-kata yg diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia
baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya maupun wahyu; baik dalam
keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini Alquran dinamakan
hadis.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW:
Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya.
Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan:
Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.
Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata:
Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliaumenyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliaudalam sebuah riwayattelah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua pertanyaan menggelitik:
Pertama, bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafaznya dari Rasulullah SAW, tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadits qudsi?
Jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW: "Allah Ta`ala telah berfirman..., atau Allah Ta`ala berfirman...." Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini.
Di samping itu bisa jadi isinya diberitahukan (kepada Nabi) melalui wahyu (yakni secara tauqifi), namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi), dan oleh sebab itu kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis qudsi.
Pertanyaan kedua, bila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi?
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafadznya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan `si penyair berkata demikian`. juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian`.
Begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka.
`Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa: `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya, jika kamu sekalian mempercayai-Nya`. (Asy-Syuara`: 10-24)
Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jenis- Jenis Hadis
1.
Hadith Mutawatir iaitu hadith
perbuatan atau perkataan atau pengakuan ( taqrir ) nabi yang diketahui oleh
beberapa orang yang sampai kepada bilangan mutawatir, iaitu bilangan yang tidak
mungkin pada fikiran kita bahawa mereka akan bermuafakat berbuat dusta tentang
perkhabaran( hadith) itu. Dan dr mereka yang tersebut sampai bila perkhabaran
itu kepada orang lain yang dipercayai. Demikianlah pertalian penerimaan turun
temurun itu sampai ke akhirnya.
2.
I. Hadist
Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir berarti sesuatu yang datang secara beriringan tanpa diselangi antara satu sama lain .
Hadist Mutawatir berarti hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi sampai akhir sanad.
Maksdunya Hadits mutawatir itu adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut akal mereka tidak mungkin sepakat berbuat dusta, dan banyaknya rawi ini ini seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi).
II. Syarat Hadist Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir berarti sesuatu yang datang secara beriringan tanpa diselangi antara satu sama lain .
Hadist Mutawatir berarti hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi sampai akhir sanad.
Maksdunya Hadits mutawatir itu adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut akal mereka tidak mungkin sepakat berbuat dusta, dan banyaknya rawi ini ini seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi).
II. Syarat Hadist Mutawatir
3.
· Diriwayatkan oleh banyak perawi. Meskipun
muhaditsin (ahli hadist) berbeda pendapat mengenai seberapa banyak jumlah
sedikitnya perawi ini, namun pendapat yang dipilih setidaknya mencapai 10 orang
4.
· Banyaknya orang yang meriwayatkan ini harus
ada dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi)
5.
· Menurut akal tidak mungkin perawi ini
mempunyai kesepakatan untuk berdusta ketika meriwatkan hadist. (Artinya hadist
mutawatir ini memiliki kekuatan hukum yang pasti karena banyaknya orang yang
meriwayatkan, dan riwayat ini datang dari sejumlah rawi, di setiap generasi,
yang berasal dari beberapa daerah pula. Sehingga ketika menerima hadist ini
akal mempercayainya karena tidak mungkin dari sekian banyaknya rawi mereka
sepakat untuk memalsukan hadist ini.
6.
· Hadits (khabar) yang
diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan pemberitaanya bersifat
indrawi ( proses pendengaran dan penglihatan langsung ). Berupa rangkuman suatu
peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil dari kesimpulan dari satu dalil.
Dan bukan penerimaan oleh akal / logika murni seperti teori filsafat tentang
alam dan ketuhanan, yang tidak dapat di kategorikan sebagai suatu yang
mutawatir ,karena tidak ada jaminan kebenaran logika yang benar.
III. Kekuatan Hukum Hadist Mutawatir
Hadits mutawatir memiliki klasifikasi daruri, yaitu kekuatan hukum yang kuat, Dan harus diterima dengan bulat karena datangnya melalui proses qath’i (pasti), seakan-akan seseorang mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan meneliti kembali para rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan daya hafalnya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Seperti pengetahuan kita akan adanya kota London, Makkah, Madinah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Sedangkan mengingkari hadits mutawatir dianggap kufur.
IV. Pembagian Hadist Mutawatir
Hadist Mutawatir dibagi dua:
1. Mutawatir Lafzi/ Lafaz
Yaitu apabila sama dalan makna dan lafznya, contohnya:
"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah Saw) maka dia akan disiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2. Mutawatir Ma’nawi
Yaitu mutawatir dalam maknanya sedangkan lafaznya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo'a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo'a.
V. Keberadaan Hadist Mutawatir
Hadits mutawatir pada kenyataanya jumlahnya cukup banyak, namun bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Salah satu contoh hadist mutawatir adalah:
Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : "Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku....." "Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf", hadits "Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga", hadits "Setiap yang memabukkan adalah haram", hadits "Tentang melihat Allah di akhirat", dan hadits "tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid.”
Meskipun ada di kalangan muhaditsin yang menyatakan hadist mutawatir itu hanya sedikit jumlahnya. Itu hanya berkisar pada keberadaan hadit mutawatir lafzi, sedangkan hadist mutawatir ma’nawi banyak jumlahnya. Dengfan demikian perbedaan pandangan ini hanya berkisar tentang banyak atau tidaknya hadist mutawatir lafzi saja.
Daftar Pustaka
Ushulul Hadist, Dr. Muhammad Ujaj Khatib
Taysir Mustalah Hadist, Dr. Mahmud Thahan
Tadrib ar-Rawi, Imam Nawawi/ Jalaludin as-Suyuthi
Dirasat Fi Hadist Nabawi
III. Kekuatan Hukum Hadist Mutawatir
Hadits mutawatir memiliki klasifikasi daruri, yaitu kekuatan hukum yang kuat, Dan harus diterima dengan bulat karena datangnya melalui proses qath’i (pasti), seakan-akan seseorang mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan meneliti kembali para rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan daya hafalnya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Seperti pengetahuan kita akan adanya kota London, Makkah, Madinah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Sedangkan mengingkari hadits mutawatir dianggap kufur.
IV. Pembagian Hadist Mutawatir
Hadist Mutawatir dibagi dua:
1. Mutawatir Lafzi/ Lafaz
Yaitu apabila sama dalan makna dan lafznya, contohnya:
"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah Saw) maka dia akan disiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2. Mutawatir Ma’nawi
Yaitu mutawatir dalam maknanya sedangkan lafaznya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo'a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo'a.
V. Keberadaan Hadist Mutawatir
Hadits mutawatir pada kenyataanya jumlahnya cukup banyak, namun bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Salah satu contoh hadist mutawatir adalah:
Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : "Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku....." "Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf", hadits "Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga", hadits "Setiap yang memabukkan adalah haram", hadits "Tentang melihat Allah di akhirat", dan hadits "tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid.”
Meskipun ada di kalangan muhaditsin yang menyatakan hadist mutawatir itu hanya sedikit jumlahnya. Itu hanya berkisar pada keberadaan hadit mutawatir lafzi, sedangkan hadist mutawatir ma’nawi banyak jumlahnya. Dengfan demikian perbedaan pandangan ini hanya berkisar tentang banyak atau tidaknya hadist mutawatir lafzi saja.
Daftar Pustaka
Ushulul Hadist, Dr. Muhammad Ujaj Khatib
Taysir Mustalah Hadist, Dr. Mahmud Thahan
Tadrib ar-Rawi, Imam Nawawi/ Jalaludin as-Suyuthi
Dirasat Fi Hadist Nabawi
HADIS MASYHUR ATAU MUSTAFIDH
Iaitu hadis
yang diriwayatkan dari tiga sanad yang berlainan atau hadith yang diriwayatkan
oelh tiga orang atau lebih dan begitu seterusnya hingga dapat sekurang-kurangnya
tiga sanad yang berlainan.
No comments:
Post a Comment